Menulis merupakan suatu pekerjaan yang bisa dilakukan semua orang. Tetapi tidak semua yang ditulis itu bisa diterima dengan baik atau sama penafsiranya dengan sang pembaca. Pekerjaan sebagai penulis dibagai menjadi dua yaitu penulis buku dan penulis berita.
Bekerja sebagai penulis bukan tanpa resiko, karena setiap yang kita tulis itu akan dibaca oleh orang orang yang berbeda pemikiran. Kadang yang kita tulis dianggap salah oleh orang atau malah sebaliknya dipuji oleh orang lain sebagai tulisan yang baik. Penulis yang baik adalah penulis yang dapat memberikan sebuah tulisan yang berupa fakta, apalagi bila dia seorang penulis berita yang sering disebut sebagai wartawan atau sang kuli tinta. Wartawan atau sang kuli tinta ini harus memberikan sebuah informasi kepada masyarakat berupa fakta yang terjadi dan tidak boleh membesar-besarkan masalah atau melebih-lebihkan, karena hasil tulisan dari wartawan ini adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Kebebasan Pers yang dimiliki oleh wartawan di Indonesia dimulai setelah bergulirnya reformasi nasional di Indonesia, tepat setelah tahun 1999 ketika disyahkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, lalu lalang saluran informasi di Indonesia menjadi sesuatu hal yang terbuka.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948 menyatakan kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Konstitusi Indonesiapun menjamin kebebasan berekspresi. Pasal 28E UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Jaminan ini diperkuat pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Setelah memiliki kekuatan dasar untuk bebas mengeluarkan pendapat banyak orang mulai menyuarakan aspirasi mereka melalui tulisan ,tetapi pada tahun 2009 terjadi sebuah kasus yang sangat menyedihkan bahkan bisa dibilang pelanggaran berpendapat. Kasus tersebut adalah kasus tentang Prita mulyasari yang dituntut oleh Rumah sakit Omni internasional yang merasa nama baiknya tercemar karena Prita mulyasari menyebarkan e-mail dan surat pembaca di internet maupun di media massa yang berisi tentang keluhanya. Setelah menyebarkan tulisan tersebut Prita ditahan selama tiga minggu di lapas wanita tanggerang bahkan Prita dituntut dengan pasal yang memberatkan yaitu pasal 27 undang undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Pasal ini sendiri memberatkan seseorang jika melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik, seperti pada kasus Prita. Hukuman yang diberikan adalah penjara enam tahun dan denda Rp 1.000.000.000(satu milyar rupiah). Jika hal semacam ini berlanjut, setiap orang yang menulis di blog, website, dan media lainnya tidak bebas untuk menyuarakan pendapatnya. Mereka akan ketakutan karena tidak mengetahui sejauh mana batasan kebebasan dalam menyampaikan aspirasinya, Bukan hanya kasus prita saja yang menjadi sorotan hal dalam menyampaikan pendapat , kasus gugatan hukum yang paling fenomenal terjadi ketika delapan media, yakni Kompas, Kompas.com, RCTI, Republika, Detik.com, Seputar Indonesia, Warta Kota, dan Suara Pembaruan, digugat perdata oleh Raymon Teddy sebagai buntut pemberitaan atas peristiwa penggrebekan Raymon oleh polisi pada 24 Oktober 2008 di Hotel Sultan, Jakarta. Raymon merasa namanya dicemarkan karena dirinya disebut sebagai "bos judi" oleh pemberitaan delapan media tersebut. Nilai gugatan yang diajukan Raymond tidak main-main, antara US$ 10 juta sampai US$ 30 juta.
Kekerasan terhadap jurnalis tentu saja mengancam kebebasan pers. Soalnya ketika jurnalis mengalami tekanan, maka sedikit banyak akan berpengaruh terhadap karya jurnalistik yang dihasilkan. Sedangkan gugatan hukum perdata, dengan menggunakan dalil pencemaran nama baik yang kerap dituntut dengan nilai ganti rugi yang tidak proporsional, juga dapat menimbulkan efek ketakutan yang meluas (ceiling effect) yang pada ujungnya membuat pers melakukan pengurangan kejelasan kepada masyarakat. Selain itu, gugatan dengan nilai kerugian yang terlalu besar juga berpotensi membangkrutkan perusahaan media massa tersebut. Namun menilai kebebasan pers juga dapat dilihat dari sejauh mana profesionalisme media pers dalam pemberitaan mereka. ,karena pers juga mengemban loma fungsi yaitu fungsi informasi , pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan ekonomi.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas, serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik yang terdiri dari sebelas pasal yang memberikan batasan kepada wartawan seperti pada pasal satu yang berisi “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk“.Didalam kode etik ini juga dijelaskan penafsiran dari setiap pasal seperti penafsiran pasal satu yaitu : a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pada akhir bagian kode etik ini juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Kode etik ini sendiri dibuat dan disepakati oleh seluruh organisasi wartwan dan perusahaan pers Indonesia.
Setelah adanya kode etik ini ternyata masih banyak wartawan yang tidak mengetahui tentang isi kode etik ini dan kebablasan memberitakan sesuatu. Jadi menurut kalian bagaimanakah kebebasan berpendapat diIndonesia pada saat ini? Sudah bebaskah sesuai dengan dasar dasar yang melindungi kebebasan berpendapat atau belum terjadi kebebasan berpendapat yang benar benar bebas?? So itu hanya kita yang tahu........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar