profil

Mengenai Saya

Foto saya
Martin Andriano Manalu begitu nama lengkap saya.. saya adalah Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.. Saya adalah seorang pemimpi dan berjuang keras meraih mimpi walaupun saya sering menangis dan mengeluh. Saya Percaya dengan Tuhan dan Harapan sehingga saya tetap terus maju... Doakan saya Hingga bisa merubah Tata Hukum di Indonesia ini.

Sabtu, 17 Maret 2012

Realita Perjanjian Pranikah dengan Agama dan Undang-undang Perkawinan NO 1 Tahun 1974

Realita Perjanjian Pranikah dengan Agama
dan Undang-undang Perkawinan NO 1 Tahun 1974


                                           Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Realita Perjanjian Pranikah dengan Agama dan Undang-undang Perkawinan NO 1 Tahun 1974  yang di susun berdasarkan data-data yang di peroleh dari berbagai sumber informasi.
Karya Tulis ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Hukum Perdata.  Penulis sangat berterima kasih kepada Bapak Zulkarnain Ibrahim selaku dosen pembimbing mata kuliah Hukum Perdata . Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak terhadap teman-teman sekalian yang telah membantu banyak dalam penusunan tugas ini.
Walaupun makalah ini telah selesai, namun penulis menyadari bahwa penulis bukanlah manusia sempurna sehingga penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih sangat banyak memiliki kesalahan dan kekurangan-kekurangan sehingga makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, penulis sangatlah berharap mendapat masukan-masukan mengenai makalah ini agar kedepannya penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah ini di makalah selanjutnya.
Penulis berharap semoga karya tulis  ini dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan para pembaca pada umumnya. Dan penulis berharap bahwa makalah ini juga bisa menjadi salah satu sumber informasi bagi para pembaca yang sedang mengkaji masalah yang sama dengan makalah ini

Palembang,20 Oktober 2011


 
                                                                                                   Penulis.


Pendahuluan
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
     Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,  yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Di negara Indonesia Pernikahan merupakan salah satu hak asasi seseorang sebagai puncak meraih kebahagiaan hidup, karena melalui pernikahanlah sebuah keluarga dapat terbentuk secara utuh. Berangkat dari pemikiran tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana konsep yang tepat mengenai hak asasi menikah yaitu yang tidak melanggar hak asasi yang lain.
Dengan semakin bertambahnya angka perceraian di Indonesia, keinginan orang untuk membuat perjanjian pra nikah juga berkembang sejalan dengan makin banyaknya orang menyadari bahwa pernikahan juga adalah sebuah komitmen finansial seperti pentingnya hubungan cinta itu sendiri. Namun, tidak ada yang bisa mematikan romantisme sedemikian cepat selain pembicaraan mengenai perjanjian pranikah.
Terdapat berbagai kasus yang berhubungan dengan perkawinan terutama yang menyangkut perceraian. Masalah yang terjadi membuat aparat hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menjalankan fungsi Peradilan kesulitan untuk menangani. Jumlah perkara yang masuk di Peradilan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang menangani perkara itu untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para orang-orang yang mencari keadilan.  Jenis perkara lain yang banyak diajukann didominasi oleh kaum perempuan yang seharusnya merasa terlindungi dengan adanya perjanjian perkawinan. Tuntutan ke Pengadilan Agama di wilayah hukum masing-masing Pengadilan di Indonesia pun semakin hari meningkat. Namun terdapat wilayah hukum tertentu yang jumlah perkaranya sedikit karena mempunyai hukum kebiasaan atau tradisi budayanya dibidang perkawinan yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan sebelum dilaksanakan akad nikah harus mempertahankan perkawinan mereka hingga salah satu dari pasangannya meninggal dunia.
 Masyarakat hukum yang seperti itu dinamakan masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh Indonesia. Agama, bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam dan beberapa asas yang membedakan corak / warna budaya Indonesia terakumulasi dalam hukum Adat secara material, yaitu :
·         Mempunyai sifat kebersamaan / komunal yang kuat
Manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan itu mencakup lapangan hukum adat.
·         Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
·         Sistem hukumnya diliputi oleh pikiran yang serba kongkrit, artinya memperhatikan banyaknya peristiwa / kejadian dan berulang-ulangnya perhubungan antara manusia.
·         Hukum adat bersifat visioner, artinya perhubungan-perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan adanya suatu ikatan yang  dapat dilihat.
              Perkawinan yang dilaksanakan dengan suatu perjanjian perkawinan yang bukan merupakan perjanjian ta’lik talak seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam ternyata lebih dapat menekan lajunya angka perceraian di suatu wilayah hukum Peradilan, karena perjanjian perkawinan yang dilaksanakan cenderung memakai asas / hukum     Perdata Barat.
Seringkali bukan hanya calon pasangan pengantin saja yang betengkar ketika ide perjanjian pernikahan dilontarkan, namun juga merembet menjadi masalah keluarga antara calon besan. Hal ini terjadi karena perjanjian pranikah bagi kebanyakan orang disini masih dianggap kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya.
 Sayangnya dengan keterkaitan emosi yang begitu tinggi diantara pasangan yang akan menikah bisa menghalangi objektivitas untuk mengantisipasi potensi masalah finansial dalam sebuah pernikahan, termasuk risiko perceraian. Anggapan bahwa jika kita saling mencintai maka kita tidak akan memiliki masalah keuangan, sebenarnya kurang tepat.
Faktanya, masalah keuangan tetap saja muncul tidak peduli betapa Anda berdua saling mencintai. Nah, bayangkan betapa besarnya masalah keuangan yang akan muncul ketika Anda tidak lagi saling mencintai dan memutuskan bercerai.
 Tanpa bermaksud menyinggung perasaan siapapun, bersikap sinis, skeptis maupun pesimis, marilah kita berpikiran terbuka terhadap fenomena perjanjian pranikah ini dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Seperti layaknya perjanjian kerjasama usaha, perjanjian jual beli, perjanjian hutang piutang atau polis asuransi sekalipun yang diantara para pihak pihak yang berkaitan berjanji untuk saling memberikan manfaat yang sebaik-baiknya secara adil.
Maka dengan membuat membut perjanjian pra nikah, pasangan calon pengantin mempunyai kesempatan untuk saling terbuka. Mereka bisa berbagi rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati bersama tanpa ada yang ditutup-tutupi atau salah satu pihak merasa dirugikan karena satu sama lain sudah mengetahui dan menyetujui dan mau menjalani isi perjanjian tersebut.
Didalam Undang-undang Perkawinan tersebut juga dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya
Karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian pranikah masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis?

A.     KEGUNAAN
a.       Bagi penulis pembahasan ini merupakan wahana latihan pengembangan ilmu pengetahuan dan ketrampilan.
b.      Dengan pembahasan  ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum perdata pada umumnya dan hukum perkawinan pada khususnya

B.                        Permasalahan
1.      Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?
2.      Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?
3.      Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama?
4.      Bagaimana jika salah satu pasangan melanggar perjanjian Pranikah?
















Pembahasan
1.       Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?
              Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah satu pasangan.     Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang memiliki warisan besar.

2.       Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?
Biasanya perjanjian pranikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing,suami ataupun istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah. Asalkan isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, seperti sudah disebutkan diatas.
Karena itu pada dasarnya isi perjanjian pranikah dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, antara lain :
Tentang pemisahan harta kekayaan, jadi tidak ada ada harta gono gini. Syaratnya, harus dibuat sebelum pernikahan, kalau setelah menikah baru dibuat, jadi batal demi hukum dan harus dicatatkan di tempat pencatatan perkawinan.Kalau sudah menikah, sudah tidak bisa lagi bikin pisah harta. Semuanya menjadi harta gono gini.
 Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh setelah/dalam perkawinan. Kalau harta sebelumnya, sewaktu masih sendiri, itu adalah harta bawaan masing- masing. Mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja bikin perjanjian pembagian harta. Intinya dalam perjanjian pranikah bisa dicapai kesepakatan tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung mauapun apapbila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian.
Tentang pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah uatang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian,
Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut. Terutama mengenai masalah biaya hidup anak juga biaya pendidikannya harus diatur sedemikian rupa berapa besar kontribusi masing-masing orang tua dalam hal ini tujuannya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.
tentang pemisahan harta kekayaan. Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala harta benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.
Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian. Tetapi Untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan RT”. Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT istri dapat membantu suami dalam menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja diperjanjiankan tentang bagaimana cara pembagian harta.    Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian.
     Tidak terbatas pada masalah keuangan saja, isi perjanjian pra nikah bisa meliputi hal-hal yang kira-kira dapat berpotensi menimbulkan masalah selama perkawinan, antara lain hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan, tentang pekerjaan, tentang para pihak tidak boleh melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset, baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian ataupun kematian, juga tentang warisan dan hibah.
        Pada perjanjian pranikah juga dapat menyebutkan tentang tanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan selama perkawinan, baik dari segi pengeluaran sehari-hari, maupun dari segi pendidikan. Walaupun pada prinsipnya semua orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan dan tumbuh kembang anak, sehingga istri juga ikut bertanggung jawab dalam hal ini, itu semua bisa disepakati bersama demi kepentingan anak.
           Bahkan dalam perjanjian pra nikah dapat diperjanjikan bagi pihak yang melakukan poligami diperjanjikan mengenai tempat kediaman, Waktu giliran dan biaya RT bagi isteri yang akan dinikahinya (pasal 52 KHI).       Dalam perjanjian pra nikah itu para pihak tidak bisa mencantumkan klausul penentuan kewarganegaraan apakah anak yang dilahirkan kelak mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibu, karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu UU No.62 tahun 1968 tentang kewarganegaraan, yang menganut asas ius sanguinis yaitu asas seorang anak akan mengikuti kewarganegaraan suami. Intinya dalam perjanjian pranikah hal hal yang disebutkan didalamnya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1, dan kesepakatan dicapai setelah masing-masing pihak sepakat dan sukarelaan serta tidak ada paksaan.  Pelanggaran atau tidak dijalankannya isi perjanjian pra nikah ini maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan perceraian ke PA atau PN setempat  Biasanya konsep dasar akta perjanjian pra nikah sudah ada di semua notaris, tinggal nanti terserah pada masing-masing calon pasangan untuk menambahkan atau mengurangi. Notaris akan memeriksa bukti kelengkapan yang menunjang isi perjanjian tadi seperti bukti kepemilikan atas harta yang diklaim adalah milik salah satu pihak, Untuk memastikan kebenaran isi akta perjanjian pra nikah. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh calon istri, calon suami, notaris dan dua orang saksi.

3.      Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama?
          Perjanjian pra nikah diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, keduabelah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU No.1/1975 tentang perkawinan, dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk Taklik Talak.       
                Dalam ayat 2 dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilemana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian pra nikah sebagaimana dikatakan dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”
Konsep perjanjian pra nikah awal memang berasal dari hukum perdata barat KUH Per. Tetapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan KUH Per (buatan Belanda) tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal 139 KUH Per: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjia itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”`  Bila dibandingkan maka KUH Per hanya membatasi dan menekankan perjanjian pra nikah hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UU Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat

 Secara agama, khususnya agama islam dikatakan dalam AQ Al-baqarah :2 dan Hadits: bahwa setiap Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing. Maksudnya, jika seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian pranikah tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, contohnya : perjanjian pranikah yang isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan mutlak jatuh pada istrinya. Padahal dalam Islam, harta suami yang meninggal tanpa dikaruniai seorang anak tidak seluruhnya jatuh kepada sang istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami ataupu orangtua suami yang masih hidup.Hal diatas adalah “menghalalkan yang haram" atau contoh lain Perkawinan dengan dibatasi waktu atau namanya nikah mut'ah (kawin kontrak). Suatu Pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai"

 Dalam agama katolik, perjanjian perkawinan yang penting adalah dimana pria dan wanita yang melakukan perkawinan akan membentuk kebersamaan seluruh hidup (Consorsium totius Vitac) diantara mereka menurut sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Sementara untuk agama Hindu, hukum yang mengatur khusus tentang perjanjian perkawinan tidak ada, tetapi yang jelas apabila ada perjanjian yang dibuat bertentangan dengan larangan dalam agama Hindu maka perjanjian itu tidak sah. Begitu pula dengan agama budha, menurut hukum perkawinannya (HPAB) yang telah disahkan pada tanggal 1 Januari 1977, tidak ada aturan khush tentang perjanjian perkawinan, diaman berarti terserah para pihak yang bersangkutan asal perjanjian yang diabuat tidak bertentangan dengan agama Budha Indonesia, UU No. /1975 dan kepentingan Umum (Prof. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama, CV. Maju Mandar, Bandung, 1990, hlm. 60)
Perjanjian pra nikah dapat dicabut kembali asalkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Seperti dikatakan dalam 29 ayat 4 UU Perkawinan : “selama perkawina berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.
 Hal yang sama dikatakan dalam Pasal 50 ayat 2 KHI; “Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan tersebut dilangsungkan’ dan Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga ( Pasal 50 ayat 5 KHI).
Bahwa sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami dan isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat (Pasal 50 ayat 3 KHI).
Apabila dalam tempo 6(enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga ( pasal 50 ayat 4 KHI ).
Esensi pencabutan perjanjian pra nikah juga sejalan dengan ketentuan pasal 1338 KUHPer perjanjian tidak bisa dibatalkan kecuali atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.  Perjanjian pra nikah ini berlaku sejak perkawinan tersebut dilangsungkan (Psl 29 ayat 3 UU Perkawinan) Dalam membuat perjanjian pranikah perlu dipertimbangkan beberapa aspek yaitu :

Keterbukaan dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Berapa jumlah harta bawaaan masing-masing pihak sebelum menikah dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan.
 Kemudian berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar Anda tahu persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya,
Kerelaan, perjanjian pranikah harus disetujui dan ditanda tangani oleh ke dua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya, perjanjian pranikah bisa terancam batal karenanya,
Pejabat yang objektif. Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian pranikah bisa tercapai keadilan bagi kedua belah pihak,
Notariil. Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus disahkan oleh notaries. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan. Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian pra nikah juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA mauapun Kantor Catatan Sipil).




4.      Bagaimana jika salah satu pasangan melanggar perjanjian Pranikah?

Disini Perjanjian Pranikah tersebut dibagi dua bila ditilik menurut hukum yaitu berdasarkan :
1. Perjanjian bawah tangan
2. Perjanjian Notariil Akta yang biasa disebut Akta Notaris
Perjanjian bawah tangan ini adalah perjanjian-perjanjian yang hanya dibuat oleh para pihak sendiri, sedangkan Akta Notaris adalah perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Perbedaan antara keduanya adalah pada kekuatan hukumnya. Perjanjian yang dibuat dalam Akta Notaris, mempunyai kekuatan hukum sempurna, karena dibuat dalam bentuk Akta Otentik. Yang artinya apa yang tercantum dalam Akta tersebut harus dianggap benar adanya, sampai ada pihak (biasanya pihak lawan) yang dapat membuktikan bahwa apa yang tercantum dalam akta tersebut tidak benar. Jadi pembuktian sebaliknya terhadap isi akta tersebut dibebankan kepada pihak yang mengklaim bahwa apa yang termuat di dalam isi akta tersebut tidak benar.
 Sedangkan dalam perjanjian bawah tangan, maka para pihak akan saling beradu argument dan beradu bukti untuk membuktikan manakah yang benar, dan semua akan tergantung pada penilaian Hakim. Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa Akta Notaris memang lebih memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat daripada hanya sekadar Perjanjian bawah tangan.
Untuk mengcover perjanjian agar benar-benar aman, maka memang diperlukan perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta notaris. Agar kelak dikemudian hari, manakala terjadi sengketa terhadap persoalan tersebut, maka pihak pembuat akan lebih mendapatkan kepastian hukum. Namun hal ini bukan berarti perjanjian yang dibuat secara bawah tangan kehilangan daya mengikatnya. Perjanjian bawah tangan tetap menjadi salah satu alat bukti yang sah untuk berperkara di pengadilan. Jadi artinya boleh-boleh saja perusahaan membuat perjanjian hanya dalam bentuk perjanjian bawah tangan saja. Hanya yang perlu menjadi pertimbangan adalah bahwa kekuatan hukum yang mengikutinya akan berbeda dengan apabila perjanjian itu dibuat dalam bentuk akta notariil. Yang diperlukan hanya mempertimbangan apakah kira-kira resiko akibat apabila perjanjian itu dibuat dibawah tangan membawa implikasi yang significan atau tidak, apabila perjanjian itu hanya perjanjian-perjanjian “ringan” yang memiliki resiko lebih sedikit, maka silahkan saja dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan. Namun apabila beresiko lebih besar, maka hendaklah dibuat dalam bentuk Notarill akta, Sehingga kepastian hukumnya lebih terjaga.
        Kalau anda akan membuat perjanjian di Notaris, bentuknya akan sangat berbeda dengan bentuk perjanjian bawah tangan biasa, karena akta Notaris itu adalah merupakan akta otentik, maka bentuknya harus disesuaikan dengan Undang-Undang. Jadi semua dibuat oleh pihak Notaris. Para pihak yang terlibat mengutarakan maksudnya masing-masing kepada Notaris, dan Notaris yang akan membuat aktanya, kemudian Akta akan dibacakan, dan setelah itu akan ditandatangani oleh para pihak jika semua kehendak para pihak tersebut sudah benar. Jadi dari berbagai segi memang ada perbedaan antara akta bawah tangan dan akta Notaris. Masalah perlu atau tidaknya semua perjanjian dibuat dalam akta Notaris, tentunya itu sangat bergantung pada kepentingan para pihak, dan kehendak para pihak masing-masing.

Jadi jika sebuah Perjanjian Pra nikah tersebut didaftarkan ke notaris maka sebuah perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum dan bila salah satu pasangan melakukan wanprestasi maka mereka bisa menuntut ganti rugi bila hal yang tersebut merugikan kepada pihak yang dilanggar.




















Kesimpulan

   Perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang memiliki warisan besar.
Isi Perjanjian Pranikah Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, antara lain :
 - Tentang pemisahan harta kekayaan
 - Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang
Kekuatan dari Perjanjian Pranikah itu sendiri terbagi 2 yaitu :
1. Perjanjian bawah tangan
2. Perjanjian Notariil Akta yang biasa disebut Akta Notaris
Bila perjanjian Pranikah itu dibuat dengan akta notaris maka kekuatan dan keabsahannya bisa dipertahankan.











Daftar Pustaka
3.      Undang-undang Perkawinan NO 1 Tahun 1974
4.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
5.      Kompilasi Hukum ISLAM
6.      UU No.62 tahun 1968 tentang kewarganegaraan
7.      UU No. /1975 dan kepentingan Umum (Prof. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama, CV. Maju Mandar, Bandung, 1990, hlm. 60)
8.      pasal 29 UU No.1/1975 tentang perkawinan
9.      hukum perkawinannya (HPAB) yang telah disahkan pada tanggal 1 Januari 1977 tentang cara pernikahan Agama Budha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apakah isi blog ini bermutu?