Korelasi Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dengan Undang-Undang yang lain
|
Nama : Martin Andriano Manalu
Nim : 02101401048
Mata Kuliah : Hukum Perdata
Dosen Pengasuh : ZULKARNAIN IBRAHIM, S.H.M.Hum.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul Korelasi antara Undang-undang Perkawinan no 1 tahun 1974 dan Undang-undang Hukum Perdata ini dibuat untuk menyelesaikan tugas Hukum Perdata yang telah diberikan Dosen Pengasuh yaitu Bapak ZULKARNAIN IBRAHIM, S.H.M.Hum.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah ini sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna sehingga masih perlu dibantu untuk memperbaikinya dan penulis berharap agar pembaca bisa mengerti. Penulis juga berharap atas kritikan dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah ini sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna sehingga masih perlu dibantu untuk memperbaikinya dan penulis berharap agar pembaca bisa mengerti. Penulis juga berharap atas kritikan dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menjadi informasi di masyarakat dan berguna untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan Khususnya dibidang Hukum.
Palembang 20 Oktober 2011
Penulis
(Martin Andriano Manalu)
Pendahuluan
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Di negara Indonesia Pernikahan merupakan salah satu hak asasi seseorang sebagai puncak meraih kebahagiaan hidup, karena melalui pernikahanlah sebuah keluarga dapat terbentuk secara utuh. Berangkat dari pemikiran tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana konsep yang tepat mengenai hak asasi menikah yaitu yang tidak melanggar hak asasi yang lain.
Di negara Indonesia Pernikahan merupakan salah satu hak asasi seseorang sebagai puncak meraih kebahagiaan hidup, karena melalui pernikahanlah sebuah keluarga dapat terbentuk secara utuh. Berangkat dari pemikiran tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana konsep yang tepat mengenai hak asasi menikah yaitu yang tidak melanggar hak asasi yang lain.
Makna Perkawinan Bagi Manusia menurut Aristoteles, seorang filsuf Yunani, yang terkemuka, pernah berkata bahwa manusia adalah zoon politicon, yaitu selalu mencari manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian berorganisasi. Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia, dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-orang lainnya dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya
keluarga. Keluarga-keluarga tersebut akan terbentuk dengan adanya perkawinan, antara menusia yang berlainan jenis. Perkawinan memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Perkawinan merupakan suatu kegiatan yang pokok dan utama untuk mengatur kehidupan rumah
tangga. Selanjutnya diharapkan adanya keturunan yang merupakan susunan masyarakat kecil dan nantinya akan menjadi anggota masyarakat yang luas. Dengan adanya keturunan yang diperoleh melalui perkawinan, manusia dapat memlihara kelestarian jenisnya sehingga manusia keberadaannya tidak akan punah dari dunia ini. Perkawinan diharapkan juga akan memberikan kebahagiaan baik lahir maupun batin bagi manusia.
Permasalahan :
1.. Pasal 2 ayat 1 undang-undang perkawinan tidak memberikan kepastian hukum?
2.. Pasal 4 ayat 2 undang-undang perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris atau keturunan dari salah satu jenis kelamin.
3.. Tabel Pasal dalam Undang-undang perkawinan NO 1 tahun 1947 yang akan dihapus dan argumentasinya
Pembahasan
1.. Pasal 2 ayat 1 undang-undang perkawinan tidak memberikan kepastian hukum?
( Perkawinan dibawah umur disahkan atas dasar hukum agama padahal banyak melanggar undang-undang)
Disini kenapa saya membahas tentang pasal 2 undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 karena menurut saya pasal ini tidak memberikan tolak ukur Azas Kepastian Hukum yang ada dalam suatu Undang-undang dan bahkan menyebabkan multitafsir dari sebuah pasal dalam undang-undang.
Pasal 2 ayat 1 undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 ini sendiri berbunyi : “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam kalimat tersebut dengan jelas mengatakan bahwa perkawinan yang dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan nya adalah sah, maka disini akan terjadi pertentangan antara hukum agama yang ada di Indonesia dengan undang-undang ini sendiri. Contoh masalah yang sering terjadi karena kekuasaan seseorang melakukan pernikahan yang menurut agamanya sah tapi bertabrakan dengan dasar hukum yang lain. Contoh permasalahan Pernikahan dibawah umur sering menjadi perdebatan dan kontroversi yang tiada habisnya. Karena bila ditilik dari hukum agama yaitu agama islam maka seorang wanita boleh menikah setelah ia mengalami menstruasi. Sedangkan dizaman sekarang anak kelas 6 SD (Sekolah Dasar) pun ada yang telah mengalami menstruasi sehingga menjadi suatu pertentangan dengan undang-undang lain.
Salah satu masalah dalam pasal ini yang saya angkat adalah tentang perkawinan anak dibawah umur yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak
Salah satu masalah dalam pasal ini yang saya angkat adalah tentang perkawinan anak dibawah umur yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tetapi pasal ini sendiri menjadi lemah dan bisa ditentang dengan pasal 2 undang-undang no 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Berarti jika dilihat dari kata –kata dalam pasal tersebut bahwa suatu hukum agama boleh dilaksanakan walaupun bertentangan dengan undang-undang lain dan perkawinan tersebut tetap sah.
Disinilah yang mungkin menjadi tolak ukur kita bahwa korelasi antara satu undang-undang dengan undang undang lain masih banyak yang bertabrakan bahkan dalam satu undang-undang sering terjadi pertentangan antara satu pasal dengan pasal lain seperti kedua pasal tersebut.
Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki ururtan tertinggi dalam pernikahan di bawah umur adalah Jawa Barat, terutama Bogor. Di sekitar Ciapus, anda bisa menemukan pasangan dengan usia belasan tahun, bahkan sebagian baru lulus SD. Laporan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Juni 2011 saja untuk usia kawin pertama penduduk wanita kurang dari usia 20 tahun di seluruh Jawa Timur mencapai 6.847 orang atau 19,88 persen dari seluruh perkawinan pertama penduduk wanita di semua usia sebesar 34.443 orang. Jumlah tertinggi angka perkawinan pertama penduduk wanita usia yang sama adalah yang terjadi di Kabupaten Malang yakni dengan 887 perempuan atau 29,09 persen dari total pernikahan 3.049. Sementara prosentase tertinggi dibanding seluruh jumlah pernikahan pada usia tersebut di tempatnya adalah Kabupaten Bondowoso sebesar 196 atau 49,75 persen dari total pernikahan 394 orang. Lebih lanjut, data tersebut mengungkap sampai dengan pada Juni 2011 laporan usia kawin pertama penduduk wanita seluruh JawaTimur usia di bawah 20 tahun mencapai 34.016 orang atau sebesar 19,97 persen dari jumlah laporan seluruh usia kawin pertama penduduk wanita di Jawa Timur sebesar 171.862 orang.
Seperti dijelaskan sebelumnya Sebetulnya secara implisit UU Perkawinan 1 Tahun 1974 pada pasal 6 ayat (2) menyebut seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun masih dalam kategori anak. Sementara perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang terjadi pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun (pasal 7 ayat 1). Anehnya UU tersebut mensahkan apabila mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (pasal 7 ayat 2). Dengan kata lain perkawinan di bawah umur bisa dilegalkan sekalipun terjadi pada usia anak-anak di bawah 18 tahun (pasal 1 ayat 1 UU nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak). Dalam arti, negara mengizinkan perkawinan yang melanggar hak asasi anak (UU No. 39/1999 Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak pasal 52 s/d pasal 66). Perkawinan pada anak-anak adalah melembagakan tindakan merenggut kebebasan masa anak-anak atau remaja untuk memperoleh haknya. Tepatnya hak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 1 ayat 2 UU No 23 Tahun 2002).
Sekaligus melestarikan pelanggaran hak untuk mendapatkan pendidikan, berpikir dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi. Juga merenggut hak mendapat perlindungan. Anak-anak sebagai korban sekaligus pelaku seringkali terkurung pelbagai justifikasi perkawinan bawah umur yang bisa datang dari orangtua, hakim pengadilan agama, tokoh agama, tokoh masyarakat adat, dan tak jarang juga atas inisiatif pelaku sendiri. Orang tua bisa berdalih meringankan beban tanggungjawab ekonomi yang mendorong terjadinya pernikahan tersebut. Atau atas nama pelestarian dinasti kekayaan tertentu. Bahkan secara ekstrem bukan tidak mungkin pernikahan di bawah umur sebetulnya adalah modus terselubung penjualan anak-anak mereka.Ketiadaan kesadaran hukum yang kemudian mentradisi juga menjadikan pernikahan di bawah umur suatu solusi. Pergaulan bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah, misalnya, menjadikan perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga. Seringkali keadaan ini disokong oleh pejabat kantor urusan agama, yang menyakini bila tak segera dinikahkan pasangan-pasangan seperti itu cenderung menafikan norma agama dan perzinahan merajalela. Selain tentu saja, di pelbagai daerah telah mentradisi bentuk perjodohan oleh orangtuanya. Biasanya mereka berpegang mitos umum bila anak telah lepas masa menstruasi di usia 12 tahun, maka sudah waktunya untuk menikah. Diantara beberapa kenyataan tersebut, yang paling populer adalah keyakinan yang dianut dari berbagai tafsir hadist nabi oleh tokoh-tokoh agama. Berdalih meneladani sunah rasul, maka perkawinan di bawah umur tersebut kerap kali masih terjadi.
** Disini saya juga akan membahas perkawinan dibawah umur yang diliat dari segi agama khusus nya Agama Islam.
Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan.
Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis.
Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
Dalam fikih, ada yang disebut kafa’ah (baca kesetaraan). Kafa’ah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafa’ah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun pertimbangan kafa’ah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama).
Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidaksetaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut.
Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah menjadi masalah dalam Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan.
Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak permah mendorong dan menganjurkan untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut:
Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul,
”Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR Bukhari dan Muslim);
Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam;
Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah. Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman;
Keempat: masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat.
Kita tidak memperpanjang masalah perkawinan ideal dan indah antara Rasul dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama.
Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang.
Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.
Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia Seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal 16).
Jadi keseimpulan dari permasalahan pertama adalah Pasal 2 ayat 1 tersebut perlu direvisi ulang karena tidak memberikan kepastian hukum serta menimbulkan multi tafsir dari pasal tersebut.
PERMASALAHAN 2
2.. Pasal 4 ayat 2 undang-undang perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris atau keturunan dari salah satu jenis kelamin.
Disini pasal 4 ayat 2 undang-undang perkawinan bisa ditafsirkan menjadi sebuah kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris atau keturunan dari salah satu jenis kelamin karena menurut pasal ini seorang suami dapat beristri lagi apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Karena itu bila ditilik dari pasal 1 undang-undang perkawinan yang menjelaskan pengertian perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Oleh sebab itu maka seharusnya perkawinan itu harus didasari untuk membuat keluarga yang kekal karena Berdasarkan pasal 3 UU Perkawinan, seorang pria pada azasnya hanya diperkenankan mempunyai seorang isteri, dan sebaliknya. Pasal ini dianggap sebagai payung hukum monogami. Namun pasal ini juga memberi pengecualian, dimana seorang pria boleh beristeri lebih dari satu jika memenuhi syarat: dikehendaki oleh para pihak (suami, isteri, dan calon isteri kedua), dan ada izin dari pengadilan. Tentu saja hakim tidak bisan sembarangan memberikan izin. Menurut ketentuan pasal 4, izin hanya bisa diberikan jika memenuhi salah satu dari tiga syarat. Pertama, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Kedua, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sehingga sekarang banyak suami melakukan poligami atas dasar seorang istri tidak bisa memberikan keturunan padahal banyak perempuan yang tidak menikah lagi apabila suaminya tidak bisa memberikan keturunan ataupun tidak bisa memberikan pelayanan biologis kepada istri karena sakit. Sehingga menurut saya pasal ini harus direvisi karena seperti diawal pasal ini bertentangan dengan pasal 1 undang-undnag perkawinan.
Karena itu bila ditilik dari pasal 1 undang-undang perkawinan yang menjelaskan pengertian perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Oleh sebab itu maka seharusnya perkawinan itu harus didasari untuk membuat keluarga yang kekal karena Berdasarkan pasal 3 UU Perkawinan, seorang pria pada azasnya hanya diperkenankan mempunyai seorang isteri, dan sebaliknya. Pasal ini dianggap sebagai payung hukum monogami. Namun pasal ini juga memberi pengecualian, dimana seorang pria boleh beristeri lebih dari satu jika memenuhi syarat: dikehendaki oleh para pihak (suami, isteri, dan calon isteri kedua), dan ada izin dari pengadilan. Tentu saja hakim tidak bisan sembarangan memberikan izin. Menurut ketentuan pasal 4, izin hanya bisa diberikan jika memenuhi salah satu dari tiga syarat. Pertama, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Kedua, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sehingga sekarang banyak suami melakukan poligami atas dasar seorang istri tidak bisa memberikan keturunan padahal banyak perempuan yang tidak menikah lagi apabila suaminya tidak bisa memberikan keturunan ataupun tidak bisa memberikan pelayanan biologis kepada istri karena sakit. Sehingga menurut saya pasal ini harus direvisi karena seperti diawal pasal ini bertentangan dengan pasal 1 undang-undnag perkawinan.
Pembahasan 3
POKOK-POKOK PIKIRAN
USULAN AMANDEMEN UU PERKAWINAN
Latar belakang: Konteks sejarah
Lahirnya UUP No. 1/1974 pada hakekatnya telah melewati suatu proses panjang dari rentetan perjuangan kaum perempuan di Indonesia menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak asasinya. Setidaknya kita bisa mencatat sejak perjuangan R.A. Kartini baik melalui surat-suratnya yang menceritakan kegelisahan beliau terhadap kondisi kaumnya maupun melalui pengalamannya sendiri dalam keluarganya. Sepanjang hidupnya beliau menentang kungkungan tradisi yang ditanamkan lewat institusi keluarga dan perkawinan, termasuk ketika beliau pada akhirnya tidak berdaya menolak poligami, bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Isu persamaan atau ‘emansipasi’ yang digulirkan Kartini selanjutnya memberi inspirasi pada perempuan-perempuan sesudahnya yang percaya bahwa tidak mungkin menghapus masalah perempuan tanpa berorganisasi dan melakukan aksi perubahan yang nyata. Sejak itu muncullah organisasi-organisasi perempuan dan gerakan perempuan yang mengkritisi berbagai kondisi ketidakadilan yang dialami perempuan sampai kemudian menggiring pada upaya lahirnya UUP.
Jelas kaum perempuan berkepentingan dengan adanya UUP. Mewujudkan UUP yang mengangkat harkat dan martabat perempuan merupakan harapan dari semua kelompok perempuan saat itu. Tambah lagi menjelang tahun-tahun lahirnya UUP, berbagai masalah di seputar perkawinan semakin menguat dan menjadi keprihatinan organisasi-organisasi perempuan, antara lain kasus poligami, kawin paksa, kawin anak-anak, perceraian dan perkawinan sewenang-wenang.
*Substansi UUP: Sebuah Ambivalensi yang mengukuhkan subordinasi perempuan.
Meskipun UUP dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, namun bila melihat dari substansi pasal-pasalnya, terdapat ambivalensi yang cukup mendasar dan kembali mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya, pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. Namun di dalam pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat UUP jugalah privilis seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur.
Melihat kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa UUP adalah respon dari pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk mengubah status hukum perempuan, tidak sepenuhnya benar. UUP yang dilahirkan dalam era orde baru dengan strategi pertumbuhan ekonomi itu justru membakukan domestikasi perempuan. Domestikasi ini mengarah pada penjinakan, segregasi dan upaya depolitisasi perempuan. Domestikasi juga menghasilkan kepatuhan pekerja perempuan dengan bayaran rendah (karena dianggap bukan pencari nafkah utama) untuk menunjang industri terutama industri ringan yang berorientasi eksport.
Tidak terlalu mengejutkan bahwa UUP sejauh ini terlihat masih jauh dari harapan kelompok perempuan. Kerna bila kita simak dari proses pembentukannya, UUP pada dasarnya merupakan cerminan pertarungan dari tiga kelompok kepentingan yang ada saat itu. Pertama, adalah negara/pemerintahan Orde Baru yang berkepentingan untuk menyelamatkan strategi pembangunannya (Ideologi pembangunanisme). Kedua, agama dengan kepentingan pengukuhan kekuasaan dan kewenangannya. Terakhir, perempuan, meskipun merupakan kelompok yang paling awal mengambil momentum pembahasan RUU sebagai sebuah kesempatan untuk memperjuangkan perbaikan nasib, secara perlahan-lahan tersingkir ke pinggir arena dan menyerah terhadap kepentingan pihak lain yang semakin melanggengkan struktur yang tidak adil tersebut.
Perkembangan Situasi Perempuan dan Wacana Hak-hak Asasi Manusia : Pentingnya Amandemen UUP
Sudah 29 tahun, masa yang dilewatkan oleh UUP ini sejak tahun lahirnya 1974. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjang tersebut, adalah wajar bila banyak perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat khususnya berkaitan dengan situasi perempuan. Misalnya, fenomena perempuan sebagai kepala rumah tangga yang dari tahun ke tahun terus meningkat, hal mana tidak bisa dijelaskan melalui UUP yang membatasi hanya suami yang menjadi kepala rumah tangga.
Selain itu, perkembangan wacana hak-hak asasi manusia secara internasional telah mendorong banyak pihak untuk mewujudkan pengakuannya secara konkret di tingkat nasional dalam berbagai bentuk pengakuan hukum (legal instrument). Sejak dari UU HAM, UU Pengadilan HAM sampai pada UU Perlindungan Anak yang membatasi usia anak adalah di bawah 18 tahun. UUP yang masih menetapkan batas usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun jelas tertantang dengan adanya perkembangan terakhir ini. Artinya UUP bisa dikategorikan melegitimasi pernikahan anak-anak menurut wacana terakhir HAM ini.
Instrumen-instrumen hukum yang menjadi landasan usulan Amandemen UUP
Berbagai instrumen hukum yang mengkerangkai usulan amandemen UUP ini sebagai berikut:
1. Amandemen UUD 1945, khususnya amandemen kedua Pasal 28 UUD 1945 yang mencantumkan ketentuan bahwa setiap orang harus bebas dari diskriminasi atas dasar apapun.
2. GBHN Tahun 1999-2004, BAB IV mengenai arah kebijakan tentang kedudukan dan peranan perempuan: “meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.’’
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 51 menyebutkan hak dan tanggungjawab yang sama dalam kehidupan perkawinan.
4. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Perempuan (CEDAW). Pasal 16:
Hak dan tanggung jawab yang sama dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan;
Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan, memilih suami/pasangan yang bebas;
Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pemutusan perkawinan;
Hak dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak
Hak yang sama sebagai suami isteri, termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi, jabatan.
5. UU No. 23 Tahun 2002
Pasal 1 (Ketentuan Umum) : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 7 (ayat 1) : Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
6. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
Pasal 1:
“Kekerasan terhadap perempuan” adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.
USULAN AMANDEMEN UU PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974
BERIKUT ARGUMENTASI-ARGUMENTASINYA
No | PASAL DALAM UUP | USULAN PERUBAHAN | ARGUMENTASI |
1 | PASAL 2 (1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. | PASAL 2 (1) Tidak ada perubahan (2) Tiap-tiap perkawinan harus dicatat di unit-unit tertentu sesuai dengan agama yang bersangkutan, di bawah Departemen Agama. | Merujuk pada ayat 1, bahwa setiap perkawinan dihubungkan dengan agama masing-masing, maka tepat apabila pengurusan pencatatan perkawinan di lakukan oleh unit-unit agama masing-masing di bawah naungan Departemen Agama. - Selama ini hanya kalangan pemeluk agama tertentu saja yang pencatatannya ada di bawah naungan Departemen Agama. - Adalah hak bagi setiap pemeluk agama untuk mendapatkan perlakukan yang sama tanpa diskriminasi berkaitan dengan perkawinan, termasuk dalam urusan pencatatan. - Legitimasi hukum: Prinsip non diskriminasi dalam UUD 1945, UU HAM serta UU lain yang relevan. |
2 3 4. 5. | PASAL 3 (2). Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan PASAL 4 (1). Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2). Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. PASAL 5 Tentang syarat-syarat pengajuan permohonan suami yang akan melakukan poligami kepada Pengadilan. PASAL 7 (1). Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. | Dihapus Dihapus Dihapus PASAL 7 (1). Perkawinan hanya diijinkan jika kedua belah pihak berumur diatas 18 (delapan belas) tahun. | Beberapa alasan mendasar perlu penghapusan poligami: - Poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, hal mana di dasarkan pada keunggulan/superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya. - Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya. - Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip –prinsip persamaan, anti diskriminasi serta anti kekerasan yang dianut dalam berbagai instrumen hukum yang ada. (UUD 1945, UU HAM, UU No.1/84, GBHN 1999, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) - Realitasnya banyak kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. - Poligami sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilegitimasi oleh hukum dan sistim kepercayaan yang ada di masyarakat. - Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut. Penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk ‘internalized oppression’ , yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif. -syarat dalam poligami mencerminkan: - Perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fisik/biologisnya. - Ketentuan ini telah menempatkan perempuan sebagai “sex provider” dan secara keseluruhan mencerminkan ideologi ‘phallosentris’ , yakni sistem nilai – melalui ketentuan ini dilegitimasi- yang berpusat pada kepentingan/kebutuhan sang phallus (penis). - Pasal 7 UUP telah membedakan usia laki-laki yakni dua tahun lebih tua dari pada usia perempuan yang dipresyaratkan. Asumsi di balik pembedaan usia ini adalah karena laki-laki diharapkan menjadi pemimpin dan pencari nafkah keluarga sehingga dituntut lebih dewasa dari calon istri, pihak yang akan dipimpin. Asumsi ini sejalan dengan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. - Pembedaan usia ini jelas memuat asumsi yang bias jender. (lihat argumentasi penghapusan pasal 31 ayat 3). - Usulan diatas 18 tahun tanpa pembedaan usia atas dasar jenis kelamin merupakan implementasi dari berbagai UU yang ada (lihat kerangka hukum yang menjadi acuan amandemen ini), khususnya UU Perlindungan anak yang menetapkan usia anak-anak adalah di bawah 18 tahun. |
6. | PASAL 11 (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. | PASAL 11 (1) Bagi seorang pria dan wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) adalah selama 3 bulan. | - Adanya masa tunggu bagi seorang wanita setelah putus perkawinan biasanya dikaitkan dengan kemungkinan untuk melakukan rujuk. Adalah tindakan diskriminatif bila perempuan diikat oleh masa tunggu atau tidak bisa langsung menikah lagi, sementara di pihak lain laki-laki tidak diperlakukan sama. |
7. | Pasal 31 (1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga | (1) Tetap (2) Tetap (3) Suami istri memiliki peran dan tanggung jawab yang sama kehidupan berumah tangga | Argumentasi menolak pembakuan peran stereotype permpuan-laki-laki - Pasal 31 ayat 3 tidak saja kembali mengukuhkan subordinasi perempuan, tetapi juga bertentangan dengan berbagai instrumen diatas, yang menegaskan prinsip persamaan kedudukan antara laki-laki dan prempuan. - Pasal ini jelas bertentangan dengan realitas yang ada dimana jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga cukup besar dan meningkat dari tahun ke tahun. Namun, keberadaan kepala rumah tangga perempuan ini menjadi tidak diakui. - Selain itu, ia kenyataannya memberi dampak yang sangat merugikan bagi kelompok perempuan. |
8 | Pasal 34 (1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. | (1) Suami istri wajib saling melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Suami istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya untuk saling melindungi dan saling berbagi peran dan kerja kerumah tanggaan, atau salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil, maka ia berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan. | - Pembakuan peran ini mendorong proses pemiskinan perempuan: membuat salah satu pihak (istri)bergantung secara ekonomi terhadap pihak lainnya (suami). - Dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, para istri yang menjadi korbannya tidak mudah keluar dari lingkaran kekerasan karena masalah ketergantungan ekonomi. - Sementara banyak kasus nafkah di pengadilan, meski diputuskan suami/mantan suami tetap berkewajiban memberi nafkah, tapi keputusan ini tidak berlaku efektif dan dikembalikan pada kemauan dari pihak suami/mantan suami. - Pengaruh di dunia kerja, nilai pekerja perempuan lebih rendah karena dianggap sebagai bukan pencari nafkah utama. Para istri yang bekerja sering disamakan dengan lajang, sehingga tidak mendapat tunjangan keluarga seperti yang diperoleh oleh rekannya laki-laki. |
9. | Pasal 43 (1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatur dalam PP | Pasal 43 (1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya. (2) Tetap (3) Anak yang dilahirkan melalui program bayi tabung dari suami istri yang sah adalah anak sah. (4) Bagi bayi tabung yang benihnya dititipkan pada wanita lain adalah anak syah dari suami istri yang menitipkannya | - Setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari apakah ia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. - Adalah hak anak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kedua orang tuanya. - Dalam UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 7 (ayat 1) disebutkan : Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. - CEDAW Pasal 16: Hak dan tanggung jawab yang sama dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan; - Hak dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak; |
Daftar Pustaka
1. Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
4. Undang-undang no 23 tahun 2002
5. Undang-undang no 23 tahun 2003
6. Undang-undang no 39 tahun 1999
- http://www.skripsi-tesis.com, diakses 30 Mei 2010 pukul 19:56 WIB
- http://www.docstoc.com, diakses 30 Mei 2010 pukul 20:02 WIB
11. http://internasional.kompas.com/read/2011/08/04/22351344/Tiap.3.Detik.1.Gadis.di.Bawah.Umur.Nikah
12. http://internasional.kompas.com/read/2011/08/04/22351344/Tiap.3.Detik.1.Gadis.di.Bawah.Umur.Nikah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar