profil

Mengenai Saya

Foto saya
Martin Andriano Manalu begitu nama lengkap saya.. saya adalah Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.. Saya adalah seorang pemimpi dan berjuang keras meraih mimpi walaupun saya sering menangis dan mengeluh. Saya Percaya dengan Tuhan dan Harapan sehingga saya tetap terus maju... Doakan saya Hingga bisa merubah Tata Hukum di Indonesia ini.

Kamis, 03 Mei 2012

Masalah Tambang Timah dan Dasar Hukum nya


Hukum Pertambangan
Limbah Akibat Tambang Timah
 1. Lubang Tambang
 Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.

 2. Air Asam Tambang

 Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.

 3. Tailing

 Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.
 Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami.
 Kandungan Zat Limbah
 Para peneliti dari Limnologi LIPI menyimpulkan lewat studi pada 40 kolong (danau yang terbentuk dari bekas penambangan timah), mengatakan bahwa air dari kolong-kolong tersebut terkontaminasi jenis logam berat antara lain Ferum (fe), Timbal (pb), dan Arsen (as) yang sudah melebihi ambang batas normal yaitu lebih dari 4 ppm yang tanpa pengolahan terlebih dahulu tidak direkomendasikan untuk diminum karena dapat menyebabkan sejumlah penyakit seperti keracunan, kanker dan penyakit lainnya.


      1.   Timbal,Timah Hitam (Pb)
 Timbal terdapat di air, tanah, tanaman, hewan dan udara. Zat ini terbentuk akibat aktifitas manusia seperti pembakaran batu bara, sampah, penyemprotan pestisida, asap pabrik dan akibat pembakaran bensin di kendaraan. Timbal dan senyawanya mempengaruhi sistem pusat syaraf dengan ciri-ciri keracunan, yaitu pusing, anemia, lemah dan yang paling berbahaya adalah pengaruhnya terhadap sel darah merah. Timbal dapat mengubah ukuran dan bentuk sel darah merah.
      2.   Keasaman (pH)
            Permasalahan yang masih ada pada beberapa kolong air adalah rendahnya derajat keasaman (pH), konsentrasi logam berat yang masih cukup tinggi dan beberapa elemen kualitas air lainnya yang masih diatas ambang batas. Dari hasil penelitian terdahulu kualitas air kolong muda menunjukkan kuliatas air yang buruk pH berkisar 2,9 – 4.5, kandungan logam berat seperti Fe, Al, Pb, dan Mn yang sangat tinggi, dari hal ini ternyata kandungan asam masih berhubungan dengan timbal timah hitam (Pb)

  Pencegahan kerusakan lingkungan SDA
 Peraturan Pemerintah No. 29/1986, Peraturan AMDAL No 51/1993 mengharuskan perusahaan pertambangan memasukkan aspek pelestarian lingkungan di dalam rencana penambangannya. Hukum Pertambangan (Pasal 11/1967) mengharuskan perusahaan pertambangan menerapkan ambang batas rehabilitasi lingkungan di wilayah penambangannya. PT Timah (Persero) Tbk setuju untuk mengikuti Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Aktivitas pemantauan berdasarkan RPL meliputi bidang:




 BAB V
 SOLUSI PENANGANAN LIMBAH

 A.     Jenis Kegiatan Yang Menimbulkan Limbah
 Menemukan bijih timah di sebuah lokasi susah-susah gampang. Ada yang beruntung, langsung mendapatkannya, tapi banyak juga yang sial. Jika dalam beberapa meter galian tanah tidak juga menunjukkan adanya bijih timah, biasanya mereka akan mencari lokasi baru. Hal seperti inilah yang dapat menimbulkan kerusakan pada tatanan alam di Pulau Belitung, karena tidak ada reklamasi pada bekas tambang yang ditinggalkan tersebut.
 Data – data kerusakan lingkungan akibat limbah di kawasan PT. Timah (persero):
 Aktivitas penambangan timah di wilayah Provinsi Bangka Belitung sekarang ini semakin merembet ke dasar laut. Penambangan di laut lepas banyak dilakukan beberapa kilometer dari pantai sekitar daerah Sungailiat dan Belinyu, Kabupaten Bangka. Sebagian penambangan menggunakan kapal keruk dengan muatan besar dan sebagian lagi dilakukan secara kecil-kecilan di bibir pantai hingga masuk ke laut.
 Ratusan hektar tanah galian timah inkonvensional, menganga tanpa adanya reklamasi. Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja tanpa ada upaya reklamasi. Akibatnya, di kepulauan itu kini banyak ditemui lubang-lubang seluas dua sampai lima hektare yang tersebar mulai dari daratan sampai pantai. Dari 887 kolong (cekungan bekas penambangan timah) yang terbengkalai, ternyata juga hanya sebagian kecil yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menambang kembali secara tradisional. Satu hal yang juga menarik perhatian adalah sampai sekarang dari ribuan tambang inkonvensional (TI) yang beroperasi di sana merusak lingkungan dan menyebabkan pencemaran limbah galian timah, dan belum satu pun ditindak oleh bupati/wali kota. Dalam jangka panjang hal ini sangat membahayakan dan memperparah kondisi lingkungan di Bangka Belitung;
 Pengelolaan lingkungan masih dianggap tidak penting. Kegiatan pertambangan telah merusak hutan dan lahan. Tanggungjawab perusahaan setelah pertambangan selesai cenderung tidak ada dan ini merupakan potensi risiko bencana. Permasalahan pokok adalah: kesadaran masyarakat terhadap pencegahan kerusakan dan pelestarian lingkungan hidup masih lemah; pengendalian dan pencegahan kerusakan lingkungan hanya dilakukan ecara parsial; serta penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya;
 Perusakan lingkungan jelas beresiko bencana. Ada 4 perusak lingkungan di Bangka: PT Timah, Kobatin, tambang rakyat/ tambang ilegal (TI) dan proses pemurnian;
 Reklamasi PT Timah tidak dapat berjalan dengan baik karena lokasi bekas tambang menjadi lahan pertambangan rakyat dan
 Pemda juga tidak memiliki cukup dana untuk mereklamasi bekas galian tambang.   
 Dampak :
 Pertambangan dipahami merupakan potensi bencana dengan bahaya ikutannya: perubahan bentang alam, erosi dan sedimentasi, gangguan stabilitas lereng, hilangnya habitat flora-fauna, abrasi pantai, perubahan peruntukan lahan, penurunan kualitas air, dan kerusuhan sosial.

 B.     Solusi dan Penanganan Kerusakan Lingkungan Akibat Limbah.
 Adapun beberapa solusi yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang diakibatkan banyaknya bekas-bekas tambang timah di propinsi Bangka Belitung, antara lain:
 Segera menghentikan berbagai kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Sebab kalau tidak, kerusakan yang akan timbul semakin parah dan menanggulanginya akan semakin sulit dan memerlukan biaya yang besar;
 Melarang penggunaan alat berat bagi tambang berskala kecil, apalagi tambang dan alat berat tersebut tidak memiliki izin. Penggunaan alat berat seperti buldoser dan sejenisnya pada Tambang Ilegal (TI) tidak dibenarkan beroperasi pada daerah terlarang, seperti pada kawasan hutan lindung, daerah aliran sungai, alur pantai dan pegunungan. Tidak berlebihan tindakan dan larangan keras ini diberlakukan jika nanti ditemukan alat berat yang tidak memiliki izin, maka alat berat tersebut akan disita dan dikenakan sanksi hukum;
 Segera dilakukan usaha reklamasi pada lubang-lubang bekas galian timah, agar lahan bekas penambangan tersebut dapat kembali dimanfaatkan sebagai lahan pertanian;
 Pengusaha wajib menggunakan jenis bahan baku dan bahan penolong industri yang akrab lingkungan, serta teknologi yang bersih dan bebas pencemaran;
 Pengusaha wajib menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan lainnya, sesuai dengan bidang usaha atau jenis industri serta komoditas yang dihasilkan.
 Mewajibkan pengusaha untuk menugaskan tenaga kerja yang khusus menangani dan bertanggung jawab terhadap pengendalian dan pencegahan pencemaran.
 Diberlakukannya enam program pokok pengelolaan lingkungan hidup, yaitu inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam; pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup; penyelamatan hutan, tanah, dan air; rehabilitasi pencemaran lingkungan hidup; pengendalian pencemaran lingkungan hidup; dan pembinaan daerah pantai; dan
 Adanya penertiban terhadap penambang ilegal serta adanya koordinasi yang baik antara pemerintah daerah setempat dengan pengusaha dan masyarakat sekitarnya. 

 Cara penyelesaian
 Sejauh ini pemanfaatan kolong timah di Pulau Bangka belum optimal. Sebagian besar hanya dibiarkan, secara ekologis kolong tersebut berfungsi sebagai kolam retensi dan water catchment area untuk menampung hujan yang mengalir melalui aliran permukaan. Secara ekonomi, potensi kolong untuk dimanfaatkan sebagai sumber air baku, budidaya perairan, atau tempat rekreasi air Belum banyak dilakukan, baik oleh perusahaan penambang maupun pemerintah. Demikian juga pemanfaatan lahan tailing yang semakin luas sampai saat ini hanya sebatas di”hijau”kan dengan tanaman-tanaman serbaguna (multipurpose tree species, MPTS), terutama akasia.



Dasar Hukum
UUD 1945 Pasal 28 H
 (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.


Undang-Undang  No 32 tahun 2009
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan
emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya
alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya
genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian
dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah,
serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan
lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala
daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
23
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian
sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan
pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan
pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan
hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
provinsi bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
provinsi;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas
rumah kaca pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah
kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan
dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian
perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian
sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada
kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat
hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
24
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan hidup;
q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
provinsi.
(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas
rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi
lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota.
Pasal 66
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata
BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada
pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan pejabat fungsional.
27
Pasal 72
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap izin lingkungan.
Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah
daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 74
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 ayat (3) berwenang:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat
melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas
lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam
pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
28
Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah
secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran
yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 78
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak
membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung
jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan
huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 80
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2)
huruf b berupa:
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran;
f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran
dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului
teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Pasal 81
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap
keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
Pasal 82
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat
menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan
hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
29
yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 87
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat
dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang
melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau
kewajiban badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap
setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.

2. Undang Undang Nomor 39 tahun 1999
            Pasal 9 ayat 3 “  Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
  BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia
yang.diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 72
Kewajibandan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71,
meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.


Apakah isi blog ini bermutu?