Hukum Pertambangan
Limbah Akibat Tambang Timah
1. Lubang Tambang
Sebagian besar
pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai
beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal
pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan
jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air
lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem
air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan
ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan
perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung
banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi
air bersifat asam dan sangat berbahaya.
2. Air Asam Tambang
Air asam tambang
mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam
jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit
untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan.
Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi
air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk
bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan
monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak
menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air
permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit
melakukan tindakan penanganannya.
3. Tailing
Tailing dihasilkan
dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen
dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai
tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup
mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan
arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan
terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang
membahayakan kesehatan.
Akibat aktifitas liar
ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak
jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan
pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong
(lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi
pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang
untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami.
Kandungan Zat Limbah
Para peneliti dari
Limnologi LIPI menyimpulkan lewat studi pada 40 kolong (danau yang terbentuk
dari bekas penambangan timah), mengatakan bahwa air dari kolong-kolong tersebut
terkontaminasi jenis logam berat antara lain Ferum (fe), Timbal (pb), dan Arsen
(as) yang sudah melebihi ambang batas normal yaitu lebih dari 4 ppm yang tanpa
pengolahan terlebih dahulu tidak direkomendasikan untuk diminum karena dapat
menyebabkan sejumlah penyakit seperti keracunan, kanker dan penyakit lainnya.
1. Timbal,Timah Hitam (Pb)
Timbal terdapat di
air, tanah, tanaman, hewan dan udara. Zat ini terbentuk akibat aktifitas
manusia seperti pembakaran batu bara, sampah, penyemprotan pestisida, asap
pabrik dan akibat pembakaran bensin di kendaraan. Timbal dan senyawanya
mempengaruhi sistem pusat syaraf dengan ciri-ciri keracunan, yaitu pusing,
anemia, lemah dan yang paling berbahaya adalah pengaruhnya terhadap sel darah
merah. Timbal dapat mengubah ukuran dan bentuk sel darah merah.
2. Keasaman (pH)
Permasalahan yang masih ada pada beberapa kolong air adalah rendahnya
derajat keasaman (pH), konsentrasi logam berat yang masih cukup tinggi dan
beberapa elemen kualitas air lainnya yang masih diatas ambang batas. Dari hasil
penelitian terdahulu kualitas air kolong muda menunjukkan kuliatas air yang
buruk pH berkisar 2,9 – 4.5, kandungan logam berat seperti Fe, Al, Pb, dan Mn
yang sangat tinggi, dari hal ini ternyata kandungan asam masih berhubungan
dengan timbal timah hitam (Pb)
Pencegahan kerusakan
lingkungan SDA
Peraturan Pemerintah
No. 29/1986, Peraturan AMDAL No 51/1993 mengharuskan perusahaan pertambangan
memasukkan aspek pelestarian lingkungan di dalam rencana penambangannya. Hukum
Pertambangan (Pasal 11/1967) mengharuskan perusahaan pertambangan menerapkan
ambang batas rehabilitasi lingkungan di wilayah penambangannya. PT Timah
(Persero) Tbk setuju untuk mengikuti Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Aktivitas pemantauan berdasarkan RPL
meliputi bidang:
BAB V
SOLUSI PENANGANAN
LIMBAH
A. Jenis Kegiatan Yang Menimbulkan Limbah
Menemukan bijih timah
di sebuah lokasi susah-susah gampang. Ada yang beruntung, langsung
mendapatkannya, tapi banyak juga yang sial. Jika dalam beberapa meter galian
tanah tidak juga menunjukkan adanya bijih timah, biasanya mereka akan mencari
lokasi baru. Hal seperti inilah yang dapat menimbulkan kerusakan pada tatanan
alam di Pulau Belitung, karena tidak ada reklamasi pada bekas tambang yang
ditinggalkan tersebut.
Data – data kerusakan
lingkungan akibat limbah di kawasan PT. Timah (persero):
Aktivitas penambangan
timah di wilayah Provinsi Bangka Belitung sekarang ini semakin merembet ke
dasar laut. Penambangan di laut lepas banyak dilakukan beberapa kilometer dari
pantai sekitar daerah Sungailiat dan Belinyu, Kabupaten Bangka. Sebagian
penambangan menggunakan kapal keruk dengan muatan besar dan sebagian lagi
dilakukan secara kecil-kecilan di bibir pantai hingga masuk ke laut.
Ratusan hektar tanah
galian timah inkonvensional, menganga tanpa adanya reklamasi. Bekas-bekas
penambangan TI umumnya dibiarkan saja tanpa ada upaya reklamasi. Akibatnya, di
kepulauan itu kini banyak ditemui lubang-lubang seluas dua sampai lima hektare
yang tersebar mulai dari daratan sampai pantai. Dari 887 kolong (cekungan bekas
penambangan timah) yang terbengkalai, ternyata juga hanya sebagian kecil yang
bisa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menambang kembali secara
tradisional. Satu hal yang juga menarik perhatian adalah sampai sekarang dari
ribuan tambang inkonvensional (TI) yang beroperasi di sana merusak lingkungan
dan menyebabkan pencemaran limbah galian timah, dan belum satu pun ditindak
oleh bupati/wali kota. Dalam jangka panjang hal ini sangat membahayakan dan
memperparah kondisi lingkungan di Bangka Belitung;
Pengelolaan
lingkungan masih dianggap tidak penting. Kegiatan pertambangan telah merusak
hutan dan lahan. Tanggungjawab perusahaan setelah pertambangan selesai
cenderung tidak ada dan ini merupakan potensi risiko bencana. Permasalahan
pokok adalah: kesadaran masyarakat terhadap pencegahan kerusakan dan
pelestarian lingkungan hidup masih lemah; pengendalian dan pencegahan kerusakan
lingkungan hanya dilakukan ecara parsial; serta penegakan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya;
Perusakan lingkungan
jelas beresiko bencana. Ada 4 perusak lingkungan di Bangka: PT Timah, Kobatin,
tambang rakyat/ tambang ilegal (TI) dan proses pemurnian;
Reklamasi PT Timah
tidak dapat berjalan dengan baik karena lokasi bekas tambang menjadi lahan
pertambangan rakyat dan
Pemda juga tidak
memiliki cukup dana untuk mereklamasi bekas galian tambang.
Dampak :
Pertambangan dipahami
merupakan potensi bencana dengan bahaya ikutannya: perubahan bentang alam,
erosi dan sedimentasi, gangguan stabilitas lereng, hilangnya habitat flora-fauna,
abrasi pantai, perubahan peruntukan lahan, penurunan kualitas air, dan
kerusuhan sosial.
B. Solusi dan Penanganan Kerusakan Lingkungan
Akibat Limbah.
Adapun beberapa
solusi yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk mengatasi kerusakan lingkungan
yang diakibatkan banyaknya bekas-bekas tambang timah di propinsi Bangka
Belitung, antara lain:
Segera menghentikan
berbagai kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dan menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup. Sebab kalau tidak, kerusakan yang akan timbul semakin parah
dan menanggulanginya akan semakin sulit dan memerlukan biaya yang besar;
Melarang penggunaan
alat berat bagi tambang berskala kecil, apalagi tambang dan alat berat tersebut
tidak memiliki izin. Penggunaan alat berat seperti buldoser dan sejenisnya pada
Tambang Ilegal (TI) tidak dibenarkan beroperasi pada daerah terlarang, seperti
pada kawasan hutan lindung, daerah aliran sungai, alur pantai dan pegunungan.
Tidak berlebihan tindakan dan larangan keras ini diberlakukan jika nanti ditemukan
alat berat yang tidak memiliki izin, maka alat berat tersebut akan disita dan
dikenakan sanksi hukum;
Segera dilakukan
usaha reklamasi pada lubang-lubang bekas galian timah, agar lahan bekas
penambangan tersebut dapat kembali dimanfaatkan sebagai lahan pertanian;
Pengusaha wajib
menggunakan jenis bahan baku dan bahan penolong industri yang akrab lingkungan,
serta teknologi yang bersih dan bebas pencemaran;
Pengusaha wajib
menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan lainnya, sesuai dengan
bidang usaha atau jenis industri serta komoditas yang dihasilkan.
Mewajibkan pengusaha
untuk menugaskan tenaga kerja yang khusus menangani dan bertanggung jawab
terhadap pengendalian dan pencegahan pencemaran.
Diberlakukannya enam
program pokok pengelolaan lingkungan hidup, yaitu inventarisasi dan evaluasi
sumber daya alam; pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup; penyelamatan
hutan, tanah, dan air; rehabilitasi pencemaran lingkungan hidup; pengendalian
pencemaran lingkungan hidup; dan pembinaan daerah pantai; dan
Adanya penertiban
terhadap penambang ilegal serta adanya koordinasi yang baik antara pemerintah
daerah setempat dengan pengusaha dan masyarakat sekitarnya.
Cara penyelesaian
Sejauh ini
pemanfaatan kolong timah di Pulau Bangka belum optimal. Sebagian besar hanya
dibiarkan, secara ekologis kolong tersebut berfungsi sebagai kolam retensi dan
water catchment area untuk menampung hujan yang mengalir melalui aliran
permukaan. Secara ekonomi, potensi kolong untuk dimanfaatkan sebagai sumber air
baku, budidaya perairan, atau tempat rekreasi air Belum banyak dilakukan, baik
oleh perusahaan penambang maupun pemerintah. Demikian juga pemanfaatan lahan
tailing yang semakin luas sampai saat ini hanya sebatas di”hijau”kan dengan
tanaman-tanaman serbaguna (multipurpose tree species, MPTS), terutama akasia.
Dasar
Hukum
UUD 1945 Pasal 28 H
(1) Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Undang-Undang No 32
tahun 2009
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, Pemerintah
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH
nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi
sumber daya alam nasional dan
emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai sumber daya
alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya
genetik, dan keamanan hayati produk
rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai pengendalian
dampak perubahan iklim dan perlindungan
lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai B3, limbah,
serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai perlindungan
lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah,
dan peraturan kepala
daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
23
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi
kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah
serta penyelesaian
sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan pengelolaan
pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan
minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata
cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait
dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan
hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan,
dan menyosialisasikan
pemanfaatan teknologi ramah lingkungan
hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan,
pembinaan, dan
penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar
laboratorium lingkungan
hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup.
(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, pemerintah
provinsi bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat
provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS
tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH
provinsi;
d. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi
sumber daya alam dan emisi gas
rumah kaca pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan
kerja sama dan kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan
kebijakan, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah
kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan perizinan lingkungan
dan peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi
kerja sama dan penyelesaian
perselisihan antarkabupaten/antarkota
serta penyelesaian
sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan
teknis, dan pengawasan kepada
kabupaten/kota di bidang program dan
kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan
minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata
cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat
hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat
provinsi;
24
o. mengelola informasi lingkungan
hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan
pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan hidup;
q. memberikan pendidikan, pelatihan,
pembinaan, dan penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada
tingkat provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup pada tingkat
provinsi.
(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat
kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS
tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi
sumber daya alam dan emisi gas
rumah kaca pada tingkat
kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan
kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian
sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan
minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai
tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait
dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada
tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan
hidup tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan sistem informasi
lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan,
pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada
tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota.
Pasal 66
Setiap
orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat tidak
dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata
BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha
dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan
hidup.
(2)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan
kewenangannya
dalam melakukan pengawasan kepada
pejabat/instansi
teknis yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3)
Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan
pejabat fungsional.
27
Pasal 72
Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap
izin lingkungan.
Pasal 73
Menteri
dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha
dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah
daerah
jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang
perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 74
(1)
Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71
ayat (3) berwenang:
a.
melakukan pemantauan;
b.
meminta keterangan;
c.
membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan;
d.
memasuki tempat tertentu;
e.
memotret;
f.
membuat rekaman audio visual;
g.
mengambil sampel;
h.
memeriksa peralatan;
i.
memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j.
menghentikan pelanggaran tertentu.
(2)
Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat
melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
(3)
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi
pelaksanaan
tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
Pasal 75
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas
lingkungan
hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam
Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif
kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam
pengawasan
ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2)
Sanksi administratif terdiri atas:
a.
teguran tertulis;
b.
paksaan pemerintah;
c.
pembekuan izin lingkungan; atau
d.
pencabutan izin lingkungan.
28
Pasal 77
Menteri
dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab
usaha
dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah
secara
sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran
yang
serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 78
Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak
membebaskan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung
jawab
pemulihan dan pidana.
Pasal 79
Pengenaan
sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin
lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan
huruf
d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan
paksaan pemerintah.
Pasal 80
(1)
Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2)
huruf
b berupa:
a.
penghentian sementara kegiatan produksi;
b.
pemindahan sarana produksi;
c.
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d.
pembongkaran;
e.
penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan
pelanggaran;
f.
penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g.
tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran
dan
tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
(2)
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului
teguran
apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a.
ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b.
dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera
dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c.
kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.
Pasal 81
Setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan
paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap
keterlambatan
pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
Pasal 82
(1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa
penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
pemulihan
lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau
perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat
menunjuk
pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan
hidup
akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
29
yang
dilakukannya atas beban biaya
penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 87
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat
dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang
melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau
kewajiban badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap
setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan
perundangundangan.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian
unsur
kesalahan.
2. Undang Undang Nomor 39 tahun 1999
Pasal 9 ayat 3 “ Setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakan, dan
memajukan hak asasi manusia yang
diatur dalam Undang-undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum
internasional tentang hak asasi manusia
yang.diterima oleh negara Republik
Indonesia.
Pasal 72
Kewajibandan tanggungjawab pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 71,
meliputi langkah implementasi yang
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan keamanan
negara, dan bidang lain.